Kamis, 25 Desember 2008

BACA SAJAK MALAM

bila bukan karena malam

tak kuminta sajak itu kau bacakan

sulit bagiku memandang langit hampa

tanpa suara dan gegar semangatmu

atau begini saja:

kuhitung sekali lagi deretan mayat ini

lalu setiap sampai aku dihitungan sepuluh

satu baris sajakmu bacakan untukku

aku ingin tertawa

bahkan kalau bisa sebabas-bebasnya tertawa

sambil kulanjutkan hitunganku

sambil kau lanjutkan sajakmu

meski aku tahu

sampai lelahpun aku tak mungkin sanggup menghitung

tapi gairahku selalu menyala setiap kali sajakmu berdendang

ada rasa terpana

persis tabuhan bersambut berirama

ingin kugenggam jemarimu – menarik tanganmu

kita berdansa dan tertawa

engkau membaca sajak

dan aku

mengitung mayat-mayat

Kendari, 2007


SEEKOR BURUNG TUA

ini bukan kali pertama aku melihatnya

seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut

dan dua kelelawar kecil terperangkap

dekat pohon cemara

ada suara burung malam melengking

saat bintang-bintang kembali pulang

merendam diri

di danau bersama bidadari

bercanda dan menari

lalu terbang lagi

aku di sini

sebagai burung tua yang pasrah

memendam rahasia gunung dan samudra

dan warna cuaca

ini kali kesekian aku melihatnya

seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut

menoleh sejenak pada seekor kucing

yang linglung mengasak tulang

aku di sini

menghitung butir-butir sepi

dalam kabut yang enggan menepi

Purwakarta, 2007


PERJALANAN PULANG

barangkali kau telah melupakannya

atau mungkin lenyap ditelan sepi

lalu kutuntun awan mencatat yang terucap

di antara dupa dalam jambangan perak

dan lagu blues yang tak kutahu liriknya

ada bayang ragu mengintai

dari balik jendela yang telah kusam tirainya

dan seekor kucing kurus melintas

kulihat memantul dari matamu

sudah berkali-kali kuhirup aroma nafasmu

seperti tak akan usai perjalanan sepi

dan lorong waktu yang mendadak jadi peta

mendetak dalam dadaku

barangkali kau tak perlu mengingat

karena telah kutaksir malam

yang meredupkan mimpi

Jogja, 2007


ALAMAT MAUT

kaupun tak akan melihat pantai itu dari jendela

meski dengan bibir bergetar

dengan mata nanar

terlalu singkat sebagai derita

namun, teramat panjang sebagai duka

ada nada pilu tersendat

dasar laut yang menandai maut

dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan

lebih dalam dari segala alasan

kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam

dengan seribu malam yang mendekam

atau deras arus yang mengancam

pilu yang dalam dan suram

kau hanya dapat menabur bunga dari jendela

dan ombak akan terus menuju pantai

sementara di langit

awan kelabu bukan miliknya lagi

Buton, 2007


SEBUAH PERJUMPAAN

1

jika entah bagaimana aku bisa melihatmu

aku tak dapat bergeming

seperti ketika seekor burung menabrak kaca jendela

atau daun yang dicabik-cabik kemarau

kau mungkin akan tertawa

sambil menderet tanya tentang lelah perjalanan

atau diam terkulum

seperti siput yang mengintip

aku juga akan tertawa

bicara tegas tentang ketegaran

atau mengangkat tangan dengan bahagia

berteriak pelan memanggil namamu

kita di sebuah perjumpaan

di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan

tempat pohon-pohon menadah hujan

atau badan menampung diri

2

jika entah bagaimana aku bisa melihatmu

aku tak dapat sembunyi

di langit ada ribuan kupu-kupu menggiring senja

girang melintasi lengkung lembayung

tempat mega-mega menenun sayap bidadari

dan aku memelukmu dari belakang

memacu kuda putih, membelah pelangi menuju istana

tempat para dewa membaca kitab suci

bersama kita

sepasukan bintang dan kawanan kunang-kunang

berkibar menantang badai

menuju ruang istirah tempat bulan dan matahari

menanti kita untuk bersanding


3

apakah kau mengira aku gila

mungkin

jika entah bagaimana kita bertemu

di daun ada seekor belalang melompat

hinggap di tali jemuran

menginjak seekor semut hitam

dan aku menjerit memanggil namamu

kau tertunduk

memandang butir-butir pasir yang kasar

pucat bagai wajahku

bulat bagai tekadmu

kita di sebuah perjumpaan

di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan

tempat kita menghampar segala cerita

berlomba menulis nama di pasir

sebelum ombak akhirnya menghapus keabadian.

keabadian.

kenapa kata ini lagi.

padahal seekor semut hitam

nasibnya tengah kelam

ia lupa cara mengelak

seperti ketika pertama kau mengajariku

cara tersenyum


4

apakah aku sedang bernyanyi?

atau suntuk membujuk mau?

bukan langit hari ini yang kutunggu

tapi ruang sempit yang tak mengenal kata jenuh

sebelum pasir menyisir kenangan

sebelum burung malam mencatat waktu kepergian

sebelum aku benar-benar melepuh

menjadi sauh bagi dermaga yang gelisah

kita adalah sebuah perjumpaan

lelehan cerita yang mengalir bagai larva

dan hawa panas yang bergairah

seperti kabut yang memaksa seorang penjaga malam

menggulung diri dalam sarung

atau seekor burung yang merawat jejak cinta

dalam sarang

kita adalah sebuah perjumpaan

jika entah bagaimana kita bertemu

kau mungkin tak akan menunggu

tapi aku akan terus merayu

dengan sederet lagu bisu

meski kau genangan beku.

Purwakarta, 2007


BUKIT NATAL

masih ingat bukit natal yang kita pandangi dari balik jendela?

mungkin ada dua atau tiga peri lucu yang sudah terbang pulang

entah karena apa

barangkali tongkat ajaib dan bola lampu berwana merah

sudah redup sejak pagi

dan kau masih membingkai diri

sementara kapas-kapas yang sengaja ditempelkan

telah menjadi salju dalam dirimu

kau dingin, kataku.

dari bukit itu, sebuah kartu natal dengan pita berwana kelam

bergambar sinterklas dan tujuh ekor rusa emas

mengetuk pintu kamarku.

aku butuh peri kecil, kataku.

kau masih membingkai diri

menatap bukit natal yang meredup satu-satu

Samarinda, 2007


MAHAKAM

1

bahkan kukira kau tak ingin

menjelaskan sedikitpun tentang kemarau

apalagi ketika tanah dan daun meretak

burung-burung merendah

kau malah bicara tentang bahasa angin

dan menafsir potongan senja

sebab Mahakam telah merekam

segala yang meriak dalam diriku

dan badai sudah menggenang dalam matamu

maka kumohon, jangan

pergi!

2

berapa kali sudah

kau bersua sepi di sini

jalan-jalan lengang

dan suara-suara kau biarkan berlalu

ada cerita dan nada perih

yang menganga

menunggumu di sini

di balik tirai

yang tak pernah mengenal kata

mati

3

mengapa pada salak anjing kau titip perih

apakah kabut bagimu hanya bermakna duka

sementara embun telah kau lepuhkan

menjadi lidah-lidah api?

berkali-kali sudah aku bersua sepi di sini

menunggui malam yang selalu karam

menandai bandul waktu yang menggerutu

di antara sayup senyap percakapan bintang

dan desau nafas butir-butir angin

yang memanggilku kembali.

ayo pulang,

katamu.

Samarinda, 2007


SEJAK MATAHARI

HANYA BICARA PADA BUNGA-BUNGA

sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga

ia tak lagi ke taman itu.

ia ingin sendiri saja,

melupakan bangku kayu

daun-daun yang terserak

ujung ranting yang meruncing

dan satu kancing baju kekasihnya

yang pernah tanggal di sana

dekat sumur batu yang keramat

ia bikin rumah bambu

dengan sebuah beranda

yang menghadap ke utara

sebuah tempat untuk melupakan

sebuah pekarangan yang menjadikan hari

lebih kusam dari kolam tua

sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga

ia ingin sendiri saja

memandang gunung yang kurus karena kemarau

atau kidung riang burung-burung perayu

ia hanya bermain dengan seekor kucing betina

yang entah datang dari mana

ketika malam bertahap menjadi keruh

angin tiba-tiba mengendus

mengambil kucing itu

melarikannya ke gunung

dan menyembunyikannya dekat pohon kuku

pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya

ia marah

ia kesal

sejak itu ia tak ingin bicara pada angin

Kendari, 2007


BUTON 1969

begitu tahun-tahun menjadi sepi

dan malam bergegas menyiak riak waktu

kau tak usah mendesak laut menyurut

atau pohon-pohon mengemis angin

karena darah lebih kental dari luka

lebih sakit dari kenangan

mungkin kau butuh semacam nestapa

atau ruang khusus penampung berkarung sesal

sambil bersiul menanti pisau waktu

yang berjubah hitam, persis nenek sihir

bukan tawar menawar yang kau tunggu

karena gagak tak pernah lupa alamat malam

dari matanya yang menikam kelam

meski berkali-kali kau menyebut ingin

ia tak hinggap di sana

tidak di deretan kata yang memuat namamu

pulanglah, kembali ke bilik langit

sambil bersiul sepanjang luka

sepanjang kenangan yang menghanguskan

tahun-tahun cerita

seperti ketika kau melewati tanah perbatasan

tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

adalah peta yang sama kau jejaki

dari ujung nadi terjauh

tempat anjing-anjing kurus

dengan liur yang tak pernah kering

mendesakmu dengan seribu tuduhan

semacam gua yang ditolak para pertapa

kau khusuk menulis nestapa

darah lebih kental dari luka

lebih sakit dari kenangan

Buton, 2007


NARASI SURAT CINTA

aku bacakan yang ini saja:

surat cinta yang tak jadi kukirim

karena kutulis dengan huruf-huruf besar

dan terlalu mencolok kata sayang dan rindu

di setiap baitnya

ini pun bila kau mau mendengarkan

karena di samping isinya yang terserak

suaraku juga telah habis terkuras

oleh igau malamku yang seolah

namamu menyatu dalam bibirku

lagi pula

aku sulit menemukan cara menulis surat

dengan huruf miring yang mendayu-dayu

meski perasaan saat menulis

lebih menggelombang dari badai

yang selalu menyurutkan nyali para pelaut

setelah berkali-kali

mencoba belajar seni melipat surat,

aku selalu gagal dan kesal. aku merasa

ada semacam penolakan yang sengaja ditimbulkan

oleh surat ini karena mungkin saja ia tahu

kalau tidak wajar sebuah surat tanpa

pengirim. tentu karena malu. aku

tak ingin menulis namaku yang amat tidak sepadan

dengan gambar winnie the pooh

di sudut kanan bawah, kertas berwarna oranye ini.

atau begini saja. lupakan kalau aku pernah

menulis. karena kamu

akan mengabaikannya bahkan

sebelum aku memintanya

Kendari, 2007

ck.ck.ck.......


kata orang, satu nama mewakili satu dunianya sendiri. saya pikir, pernyataan itu harus saya setujui sebab dunia sayapun belum mampu saya telusuri. ada beragam keadaan dan sistuasi yang bahkan saya sendiri sulit saya terjemahkan. barangkali ini yang membuat kita sulit mendefenisikan manusia, sebagai mahluk paling "menghantu".

apapun itu, saya adalah seorang teman bagi anda.
senang bisa mengenal kalian semua.


irianto ibrahim